Betapa kami bersyukur dan bahagia saat kaki – kaki kecil kami menapak diatas seratus enam puluh satu anak tangga batu yang telah melintas waktu beratus tahun. Sungguh hanya Karma baiklah yang telah menghantarkan kami ke tempat Suci dari Masa Klasik ini, setelah kami harus berputar empat puluh tujuh kilometer akibat kesalahan penyebutan Kesamben dengan Kasembon oleh salah seorang saudara Pandu Pusaka yang memberi informasi awal. Tepat tengah hari akhirnya kami tiba di Desa Resapombo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar.
Informasi awal yang kami dapatkan adalah di desa tersebut ditemukan situs Arkeologis. Situs tersebut telah berulang kali didatangi oleh para peneliti dari Trowulan tetapi hingga saat ini belum ada keterangan yang dapat menjelaskan keberadaan situs tersebut. Informasinya situs tersebut terletak tidak jauh dari dusun terdekat yang masih dapat dijangkau dengan mobil. Dari Dusun terakhir, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki sejauh lima ratus meter.
Mendung gelap yang menyambut kedatangan kami tak menyurutkan tekad guna melihat sendiri situs tersebut. Namun ternyata informasi awal tadi sangatlah minim, dan itu sempat membuat jengkel Tim Blakrak’an Pandu Pusaka. Belum lagi hujan yang mulai deras seakan menahan langkah kami sampai hanya di dusun terakhir.
Kami berempat terpaksa berteduh di emper rumah penduduk yang berhadapan dengan kapel kecil yang saat itu sedang melangsung Ibadah Ekaristi. Sembari berteduh kami berusaha mengumpulkan informasi lebih jauh tentang keberadaan situs tersebut. Keraguan mulai menyelimuti benak kami, saat tahu bahwa situs yang kami tuju ternyata berada jauh di dalam hutan lindung, sekitar tujuh kilometer dari tempat kami berteduh. Sungguh berbeda dengan informasi awal yang menyebutkan bahwa situs tersebut hanya terletak lima ratus meter dari dusun terakhir.
Sungguh suatu keadaan yang dilematis. Setelah jauh kami berjalan dan mendapatkan informasi keliru yang membuat kami harus mengambil rute berputar sekarang kami dihadapkan dengan hujan yang seakan menghalangi langkah kami dan informasi bahwa situs tersebut masih jauh dari tempat kami. Pilihan yang sulit bagi tim kami, antara harus pulang dengan tangan hampa atau terus nekad menuju situs tersebut meski apapun resikonya. Ditengah situasi yang membingungkan tersebut, kami berjumpa dengan seorang warga dusun yang baru saja menyelesaikan ibadah Ekaristi di Kapel di depan kami. Ternyata orang tersebutlah yang memberikan informasi awal kepada salah seorang saudara Pandu Pusaka. Pak Sulianto, begitu ia biasa dipanggil.
Ternyata informasi awal yang disampaikan oleh salah seorang saudara Pandu Pusaka selama ini sangatlah berbeda dengan apa yang kami dengar langsung dari Pak Sulianto. Melihat tekad dan keteguhan kami, Pak Sulianto beserta tiga warga lainnya akhirnya bersedia mengantarkan kami menuju situs tersebut. Dengan menggunakan empat sepeda motor yang telah dimodifikasi untuk medan daerah tersebut, berangkatlah kami diantara gerimis hujan yang mulai mereda.
Deru mesin motor membelah kesunyian yang seakan – akan meliputi kawasan tersebut selama berabad – abad. Hujan deras tadi siang membuat jalan tanah yang kami lalui semakin licin dan berlumpur. Di beberapa ruas jalan , jurang menganga lebar seakan sang Kala yang siap menelan siapa saja yang tidak waspada. Beruntung para pengendara motor yang mengantar kami hafal dan sangat faham akan kondisi medan tersebut. Beberapa kali kami harus turun dari motor dan mendaki jalan terjal dengan tanah basah yang lengket karena motor yang kami tumpangi selip. Setelah empat puluh lima menit yang begitu mendebarkan, akhirnya kami tiba di bawah hamparan tangga batu alam yang menjulang dengan gagah melintas masa.
Tak ada kata yang tepat untuk melukiskan perasaan kami saat kami melangkah dengan perlahan menapaki anak tangga itu satu – demi satu. Bayangan tentang betapa indah dan damainya tempat itu di masa silam berkelebatan dalam benak kami. Hanya Syukur yang terucap dalam hati saat kami memasuki areal suci ini. Suci, Damai, Nirmala, Santhi itulah kata yang silih berganti mengisi pikiran kami seturut langkah kami menjelajah situs ini.
Situs ini dikenal oleh warga sekitar sebagai Punden Sari. Menurut pengakuan Pak Yanto salah seorang warga paling senior yang mengantar kami, banyak cerita yang beredar di masyarakat terkait dengan punden tersebut. Warga desa Resapombo sebenarnya telah mengetahui keberadaan Situs tersebut dari waktu yang lama, tapi inisiatif kaum mudanyalah untuk melaporkan yang membuahkan perhatian dari pihak BPCB Trowulan.
Situs ini berbentuk teras – teras dan di masing – masing teras dapat dijumpai batur dan puing – puing bangunan yang berbahan batu alam yang tidak dibentuk. Beberapa umpak batu dengan celah segi empat diatasnya juga tampak tergeletak. Perkiraan kasar yang dibuat oleh Tim Blakrakan Pandu Pusaka, situs tersebut meliputi area seluas 2 hektar dan belum sepenuhnya dikupas. di sekitar areal yang telah dibersihkan masih banyak gundukan batu alam yang tampak rapi menyembul dibalik rumput yang menutupinya.
Informasi yang kami dapat dari Pak Yanto, atau yang biasa dipanggil Pak dhe oleh warga yang lain, beliaulah yang pertama kali merintis jalan menuju ke situs ini. Terdorong oleh cerita – cerita para orang tua di Resapombo tentang peninggalan kerajaan di tengah hutan lindung, Pak Yanto berusaha melacak keberadaan punden yang saat itu mulai dilupakan oleh warga desa. Tiga bulan lamanya beliau habiskan guna membuka jalan dan usaha keras beliau membuahkan hasil dengan ditemukannya kembali punden tersebut.
Penemuan kembali Punden tersebut menggugah rasa ingin tahu warga Desa Resapombo. Wargapun bahu – membahu membersihkan Punden yang telah lama terkubur rimbunnya hutan lindung. Tak kurang tiga ratus orang bergotong royong membersihkan punden tersebut. Mereka membersihkan rumput, memotong akar dan menebang pohon yang telah membelit situs tersebut. Kayu yang mereka dapat dari pohon yang ditebang, mereka gunakan membuat cungkup sederhana guna melindungi puing bangunan yang masih tersisa.
Berbagai kisah mistik seputar penemuan situs tersebut juga dituturkan oleh Pak Dhe kepada kami. Mulai dari pencurian papan kayu yang sedianya akan digunakan oleh masyarakat untuk membangun cungkup, yang akhirnya dikembalikan lagi oleh yang mencuri. Perampasan Arca oleh seorang yang mengaku dukun dari desa seberang yang berakhir dengan sakitnya si dukun dan meskipun Arca tersebut telah dikembalikan tak urung si dukun tersebut menemui ajalnya.
Pak Dhe Yantopun kerap mengalami fenomena mistik saat membersihkan areal tersebut. Pernah satu kali saat beliau akan menebang pohon besar yang tumbuh di batur tertinggi dan tersuci yang diyakini oleh warga, beliau tidak memohon ijin dan mulai meremehkan. Saat beliau mulai menebang, tiba – tiba saja ada cabang pohon yang menghantam beliau hingga jatuh pingsan. Semenjak kejadian itu beliau selalu berhati – hati bila melakukan apa saja di areal tersebut. Beliau juga pernah berjumpa seorang tua yang menggiring gerombolan bebek berbulu emas menuju arah timur dari punden tersebut sayang sekali beliau enggan menceritakan siapa dan apa tujuan orang tua tersebut.
Kami tak henti – hentinya mengagumi Situs tersebut. Meski hanya tersisa puing dan batur serta beberapa batu yang kami duga dahulunya altar pemujaan tidaklah mengurangi Aura kesucian yang terpancar. Saat kami hening sejenak memuja sang Pencipta di situs tersebut, Sekelebat bayangan timbul dalam angan kami, Seorang tua berambut dan berjenggot putih dengan wajah tenang secerah bulan purnama. Kain putih yang beliau kenakan dan tersampir rapi di pundak kanannya dan rambut yang digelung keatas menambah wibawa. Entah apa maksud dari gambaran tersebut, hingga saat kami pulangpun gambaran tersebut masih terpatri lekat di benak kami.
Dugaan sementara Tim Blakrak’an Pandu Pusaka, Punden Sari adalah Situs Karesian dari Masa Klasik. Diperlukan pemetaan dan penelitian mendalam guna mengungkap sejarah keberadaan punden yang kini telah ditemukan kembali. Seiring dengan raung motor kami menjauhi Punden Sari, sunyi kembali melingkupinya menunggu para ahli waris dan peneliti yang mau peduli datang kembali.
Singhasari, Rabu Kliwon, 17 Desember 2014